Peran Indonesia sebagai Juru Damai di Konflik Kamboja-Thailand

Sebuah unit militer Thailand melepaskan tembakan ke arah Kamboja dengan artileri berat di Provinsi Surin, Thailand, Jumat (25/7/2025). ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha/agr/am.

Pena Medan - 

Pertempuran kembali meletus di perbatasan Kamboja dan Thailand. Api dalam sekam tiba-tiba membara usai ketegangan berbulan-bulan yang bermula dari bentrokan antara satuan militer kedua negara yang merembet ke ketegangan diplomatik, Senin (28/7) mengutip Antara. 

Setelah kedua pihak sepakat menahan diri usai bentrokan bersenjata pada 28 Mei yang menewaskan seorang tentara Kamboja, perseteruan tak kunjung reda. Usaha Kamboja menyelesaikan isu ini lewat Mahkamah Internasional (ICJ) ditolak Thailand yang lebih memilih jalur negosiasi bilateral.

Konflik ini bahkan telah menimbulkan korban politik domestik. Paetongtarn Shinawatra ditangguhkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Thailand usai percakapan teleponnya dengan Ketua Senat Kamboja Hun Sen, yang membincangkan krisis di perbatasan, bocor ke publik dan menimbulkan protes.

Dua insiden ledakan ranjau di sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand yang melukai personel militer Thailand berujung pada keputusan Bangkok menarik duta besar dari Phnom Penh dan mengusir duta besar Kamboja pada 23 Juli. Baku tembak antara militer kedua negara pun meletus keesokan harinya.

Hingga Ahad, 35 orang dilaporkan tewas akibat pertempuran tersebut. Korban tewas terdiri atas 14 warga sipil dan delapan tentara di Thailand, serta 13 korban tewas di Kamboja.

Dilaporkan sudah lebih dari 60.000 orang di Thailand dievakuasi dari 14 distrik di empat provinsi yang berdekatan dari medan tempur. Di sisi seberang, 80.000 warga Kamboja dari tiga provinsi perbatasan sudah dievakuasi ke tempat aman.

Negara yang tidak terkait dengan konflik kedua negara tersebut pun juga sudah kena apesnya usai sebuah artileri jarak jauh dari Kamboja dilaporkan salah sasaran dan jatuh di Laos.

Sebagai pemegang Keketuaan ASEAN tahun ini, Malaysia sudah mengambil tindakan untuk mendamaikan kedua pihak berseteru itu. Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan mengatakan bahwa mitranya dari Thailand dan Kamboja sepakat masalah ini harus diselesaikan sendiri.

“Mereka sepenuhnya percaya terhadap Malaysia dan meminta saya menjadi mediator,” kata Menlu Malaysia yang akrab disapa Tok Mat itu.

Ia berkata bahwa Malaysia harus bertindak sebagai mediator terlebih dahulu karena perseteruan ini adalah masalah internal blok Asia Tenggara.

Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai pun dipastikan segera bertemu di Kuala Lumpur untuk membahas soal konflik perbatasan antara mereka.

Sengketa perbatasan

Konflik ini sebenarnya bukan yang tiba-tiba terjadi begitu saja, karena pangkalnya adalah sengketa perbatasan yang digariskan kuasa kolonial lebih dari seabad yang lalu serta perebutan bangunan candi yang bernilai penting bagi kedua negara.

Persimpangan perbatasan antara Thailand, Laos, dan Kamboja, atau yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud, adalah rumah bagi sejumlah candi kuno Khmer-Hindu, di antaranya Prasat Ta Muen Thom, Prasat Ta Muen Tot, dan Prasat Ta Kwai.

Karena itu, Anggota Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumalah menyebut konflik ini tidak biasa karena “dipicu warisan budaya berupa candi-candi yang berlokasi di sepanjang perbatasan kedua negara”.

Meski Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan tidak ada WNI yang menjadi korban dalam konflik tersebut serta Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan ekonomi RI tidak terdampak, Indonesia tetap merasakan kekhawatiran apabila konflik tak berhenti.

Salah satunya diungkapkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta yang mengingatkan potensi pelemahan stabilitas kawasan Asia Tenggara menyusul konflik tersebut.

Menurut dia, membesarnya konflik Thailand-Kamboja bisa memunculkan potensi kerentanan dengan hadirnya pengungsi, perdagangan senjata melalui wilayah negara ketiga, atau malah lebih buruk lagi.

"Kawasan ASEAN merupakan wilayah yang sangat strategis dan banyak dilirik oleh kekuatan dunia karena potensi ekonomi dan sumber daya alamnya. Jika hubungan antara negara ASEAN rapuh, akan rentan kepada konflik proksi," tuturnya.

Dia pun berharap pemerintah Indonesia dapat proaktif untuk mendorong proses perdamaian antara Thailand dan Kamboja, baik melalui hubungan diplomatik dengan kedua belah negara maupun melalui ASEAN.

Senada dengan hal itu, akademisi Departemen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Debbie Affianty memandang bahwa Indonesia hendaknya memiliki inisiatif untuk berperan dalam mengatasi gesekan yang terjadi antara sesama negara anggota ASEAN.

Terlebih lagi, Indonesia tetap dipandang baik di mata negara-negara ASEAN karena sudah sedari awal memegang peran sebagai pemimpin bagi wilayah Asia Tenggara.

“Sebagai ‘saudara besar’, kalau ada masalah sekecil apapun, Indonesia harus turun, seperti pada sebuah keluarga,” ucap Debbie.

Optimistis

Di samping itu, Indonesia masih tetap optimistis bahwa Thailand dan Kamboja dapat menyelesaikan ketegangan dengan cara yang damai dan sesuai dengan semangat ASEAN.

“Kami yakin sebagai negara yang bertetangga, kedua negara akan kembali ke cara-cara damai untuk menyelesaikan perbedaan mereka, sejalan dengan prinsip-prinsip yang tercermin dalam Piagam ASEAN dan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama,” kata Kemlu dalam pernyataan tertulisnya.

Prinsip non-intervensi ASEAN memang memberi batas supaya tidak ada negara yang ikut campur dalam urusan dalam negeri di negara lain. Namun, ketika konflik yang terjadi melibatkan dua negara ASEAN, isu tersebut bukan lagi masalah dalam negeri, sehingga terbukalah kewajiban bagi semua anggota lainnya untuk meredakan dan mendamaikan perseteruan.

Kalau konflik antara mereka tak dapat diredakan, dikhawatirkan semakin banyak negara-negara tetangga yang tidak ikut-ikutan dalam konflik terkena dampak apesnya. Kestabilan kawasan Asia Tenggara yang selama ini dapat terjaga baik pun dipertaruhkan.

Meskipun Malaysia, sebagai pemegang Keketuaan ASEAN, menjadi pihak yang memiliki kewajiban saat ini untuk meredakan konflik, peran Indonesia sebagai juru damai yang telah berpengalaman menyelesaikan perseteruan antarnegara di masa lalu, masih tetap dinanti.

Indonesia sepatutnya tetap menjaga perhatian pada masalah luar negeri yang menuntut pertanggungjawaban internasionalnya, dengan tidak meninggalkan prioritasnya di kawasan Asia Tenggara, dalam rangka membantu menyelesaikan konflik Kamboja-Thailand.***


Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan

Magspot Blogger Template

Iklan

Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال