Tersangka kasus korupsi LNG di PT Pertamina Persero, Senior Vice President (SVP) Gas & Power Pertamina Tahun 2013-2014 Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina tahun 2012-2014 Hari Karyuliarto saat ditampilkan di gedung KPK, Jaksel, Kamis (31/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Jakarta, Pena Medan -
KPK menahan dua tersangka baru dalam pengembangan perkara korupsi impor gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) pada PT Pertamina tahun 2011-2021.
Keduanya ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka pada Juli tahun lalu.
"Atas kedua tersangka HK dan YA, hari ini dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung sejak hari Kamis, tanggal 31 Juli 2025 sampai dengan 19 Agustus 2025," ucap Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pada Kamis (31/7) mengutip Kumparan.
"Penahanan atas tersangka HK dilakukan Rutan KPK Cabang Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi gedung C1, sedangkan tersangka YA di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih," tambahnya.
Adapun Yenni dan Hari diduga melakukan pengadaan impor LNG dari perusahaan Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction— anak perusahaan dari Cheniere Energy Inc —dengan nilai kontrak sebesar USD 12 miliar sejak 2019-2039. Namun, mereka melakukan impor tanpa mengikuti aturan dan pedoman yang berlaku.
"Bahwa Tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG impor tanpa adanya pedoman pengadaan; memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi," jelas Asep.
Asep menjelaskan, dalam pengadaan impor itu, kedua tersangka tak mengadakan kontrak ‘back to back’.
"Pembelian LNG tersebut juga tanpa adanya ‘back to back’ kontrak di Indonesia atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya," ucapnya.
"Jadi, pertamina ini membeli, impor, LNG tapi belum jelas siapa yang akan jadi konsumennya. Seharusnya memang sudah jelas sehingga sudah bisa diprediksi keuntungannya dan lain-lainnya. Dan faktanya LNG yang diimpor tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia hingga saat ini dan harganya lebih mahal dari produk gas di Indonesia,” tambahnya.
Mereka juga diduga mengadakan impor tanpa sepengetahuan dan izin Menteri ESDM seperti aturan atau pedoman yang berlaku.
"Kebijakan impor gas atau LNG harus ada penetapan akan kebutuhan impor dari Menteri ESDM dan rekomendasi sebagai syarat impor," jelas Asep.
"Jadi sebelum melakukan impor, LNG itu harus ada rekomendasi untuk kebutuhan apa. Misalnya kebutuhan di dalam negeri, sekian metrik ton, baru dilakukan impor. Tapi ini tanpa adanya rekomendasi," tambah Asep.
Asep mengatakan bahwa izin ini sangat penting.
"Ini sangat penting untuk menjaga iklim bisnis migas di dalam negeri, karena saat ini Indonesia juga sedang mengembangkan daerah atau wilayah yang mempunyai potensi gas dapat segera diproduksi, agar dapat menghasilkan devisa dan penerimaan negara," jelas Asep.
"Nah, ini oknum-oknum ini melakukan impor. Tentu saja, supply dan demand-nya akan terganggu. Makin banyak supply-nya, ini akan menekan harga dari LNG yang diproduksi di dalam negeri," tambahnya.
Asep menyebut, atas perbuatan keduanya, negara dirugikan sebesar USD 113.839.186,60.
Kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Kasus ini merupakan pengembangan dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan. Ia dihukum 13 tahun penjara di putusan tingkat kasasi.***