4 Hakim MK Tak Setuju Gugatan Formil UU TNI Ditolak

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin sidang putusan terkait sengketa Pilkada 2024 wilayah Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Papua di Gedung MK, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO

Jakarta, Pena Medan -

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil terhadap revisi UU TNI yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Namun, dalam putusan itu, sebanyak empat orang Hakim Konstitusi menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Adapun empat hakim tersebut yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani. Mereka tak sepakat gugatan formil UU TNI tersebut ditolak oleh Mahkamah. Bahkan mereka berpendapat gugatan tersebut seharusnya dikabulkan.

"Empat Hakim Konstitusi tersebut berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum. Seharusnya, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo usai membacakan amar putusannya, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (17/9) mengutip Kumparan. 

Berikut pendapat berbeda yang disampaikan masing-masing hakim:

Suhartoyo

Dalam pandangannya, Hakim Suhartoyo menyinggung asas keterbukaan yang dipenuhi oleh DPR dalam penyebarluasan dokumen dan informasi revisi UU TNI.

Menurut dia, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang. Dengan demikian, pembentuk undang-undang pun berkewajiban menyampaikan informasi mengenai adanya pembentukan undang-undang dalam rangka memudahkan akses masyarakat untuk memberikan masukan.

Namun, dalam fakta persidangan, didapati bahwa pasca-ditetapkannya revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025, tidak terdapat informasi dalam laman DPR mengenai revisi UU TNI beserta naskah akademik dan dokumen pendukung lainnya.

Padahal, kata Suhartoyo, informasi tersebut seharusnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat dalam rangka memberikan masukan terhadap revisi UU TNI.

Suhartoyo menjelaskan, berdasarkan penelusuran di laman DPR, dokumen revisi UU TNI tersebut terdapat pada laman DPR tanggal 20 Maret 2025 yang merupakan tanggal pelaksanaan rapat paripurna tingkat II DPR yang menyetujui RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang.

"Oleh karena itu, berkenaan dengan keterangan DPR dan Presiden yang pada pokoknya menjelaskan bahwa penyebarluasan dokumen dilakukan secara terbatas karena alasan strategis, saya berpendapat bahwa argumentasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena menimbulkan hambatan terhadap asas keterbukaan yang merupakan salah satu asas esensial dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," tutur Suhartoyo.

Ia juga menyinggung bahwa siaran langsung terhadap sebagian rapat pembahasan revisi UU TNI termasuk RDPU semestinya dilengkapi dengan pemenuhan kewajiban lain yang menunjukkan bahwa tidak terdapat halangan/batasan untuk publik mengakses dokumen revisi UU TNI. Termasuk naskah akademik dan dokumen pendukung lainnya di kanal resmi di laman DPR.

"Dengan demikian, penyampaian draf RUU TNI beserta naskah akademik yang dilakukan melalui kanal tidak resmi justru telah menimbulkan multipersepsi di masyarakat akibat ketidakpastian mengenai draf RUU TNI yang hendak dibahas dan diberlakukan," jelas Suhartoyo.

"Serta menghambat akses masyarakat untuk memberikan masukan terhadap RUU TNI dimaksud," paparnya.

Suhartoyo juga menyinggung pendapat DPR dan pemerintah terkait telah dilaksanakannya tahapan perencanaan dan penyusunan RUU TNI oleh DPR periode sebelumnya. Serta telah dikirimkannya RUU TNI usulan DPR kepada Presiden pada 28 Mei 2024.

Menurut dia, terdapat perbedaan substansial antara draf RUU TNI usulan DPR periode sebelumnya tertanggal 28 Mei 2024 dengan draf RUU TNI yang dibahas pasca-masuknya RUU TNI dalam Prolegnas Prioritas Nasional Tahun 2025 hingga disahkan pada 20 Maret 2025.

"Sehingga, tahapan perencanaan dan penyusunan yang dilaksanakan di periode pemerintahan sebelumnya tidak serta-merta menunjukkan keterpenuhan atas asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna," ucapnya.

Kemudian, Suhartoyo mengaku memahami alasan pemerintah dalam melakukan perubahan UU TNI yakni urgensi nasional dalam memperkuat pertahanan negara dan menindaklanjuti putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021.

Akan tetapi, lanjut dia, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengupayakan secara optimal pemenuhan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik terutama asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Suhartoyo menilai, pelaksanaan tiga kali RDPU dan satu kali audiensi pada Maret 2025 juga tidak serta-merta memenuhi prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna. Hal itu lantaran perlu adanya bukti bahwa hak masyarakat telah terpenuhi untuk dipertimbangkan pendapatnya ataupun untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban.

Jika memang benar telah dilakukan forum audensi, Suhartoyo berpandangan bahwa pelaksanaan audiensi tersebut justru baru dilaksanakan pada 18 Maret 2025, atau dua hari sebelum pengesahan RUU TNI. Imbasnya, masyarakat pun kehilangan momentum untuk memberikan masukan.

"Bahwa berdasarkan uraian di atas telah ternyata proses pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2025 tidak sejalan prinsip-prinsip dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," kata dia.

Di satu sisi, Suhartoyo tidak membenarkan proses pembentukan UU TNI yang cacat formil sehingga harus tetap dilakukan perbaikan. Namun, di sisi lain, ia menilai bahwa UU TNI yang sudah diberlakukan tersebut tidak bisa secara seketika dinyatakan tidak berlaku.

"Saya berpendapat permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional)," kata dia.

"Sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan perkara ini diucapkan dengan dipenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna dalam tahap perbaikan pembentukan undang-undang a quo," imbuhnya.

Saldi Isra

Dalam pandangannya, Hakim Saldi Isra menyinggung fakta yang menunjukkan bahwa revisi UU TNI tidak termasuk dalam pembahasan prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2025.

Akan tetapi, lanjut dia, DPR justru menerbitkan perubahan daftar pembahasan Rancangan Undang-Undang pada Prolegnas Prioritas 2025. Perubahan tersebut yakni adanya kesepakatan untuk menjadikan revisi UU TNI sebagai Prolegnas Prioritas tahun 2025.

Dalam persidangan di MK, DPR kemudian menyatakan bahwa pertimbangan untuk melakukan revisi UU TNI adalah menindaklanjuti putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021.

"Dengan mengikuti argumentasi atau bantahan yang dibangun oleh DPR dalam keterangannya, timbul kesan dan kesadaran bahwa DPR memang sejak awal ingin segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang perubahan UU TNI sesegera mungkin sebagaimana amanat yang diperintahkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021," terang Saldi.

Akan tetapi, Saldi menekankan bahwa terdapat fakta yang berseberangan antara argumentasi bantahan yang disampaikan dalam Keterangan DPR yang pada pokoknya tidak menjadikan revisi UU TNI sebagai pembahasan prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2025, melainkan sebagai Prolegnas jangka menengah.

"Bila DPR ingin segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang perubahan UU TNI sejak awal, mengapa DPR tidak menuangkan keinginan dimaksud dalam lampiran keputusan yang memuat prolegnas prioritas, melainkan justru memasukkannya sebagai Prolegnas Tahun 2024-2029," papar Saldi.

"Hal yang kemudian mengharuskan DPR untuk merevisi Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 dengan mengeluarkan Keputusan Nomor 6.1/DPR RI/II 2024-2025," bebernya.

Selain itu, Saldi juga menyinggung bahwa DPR tidak mengambil pilihan revisi UU TNI sebagai undang-undang operan atau carry over. Padahal, kata Saldi, jika DPR hendak segera menyelesaikan proses pembahasan revisi UU TNI tetapi terhalang masa transisi, mestinya proses pembahasannya dikelompokkan sebagai UU carry over.

"Namun demikian, dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 nampak jelas bahwa pembentuk undang-undang tidak mengambil pilihan tersebut. Tidak ada keterangan dalam lampiran yang menyebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Perubahan UU TNI sebagai RUU operan (carry over)," ucap Saldi.

Saldi juga menyinggung keterangan tertulis yang disampaikan DPR kepada MK, yang mengemukakan berkenaan dengan proses carry over pembahasan suatu rancangan undang-undang yang belum selesai untuk dilanjutkan pada periode keanggotaan berikutnya.

Dalam argumentasi itu, Saldi menilai bahwa pembahasan revisi UU TNI tersebut lebih menitikberatkan pada aspek politik dengan menekankan pada kesepakatan-kesepakatan politik antara lembaga pembentuk undang-undang.

Ia menyebut, memang ada ruang dalam pembentukan undang-undang dengan menitikberatkan proses politik demi menemukan kesepakatan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.

Namun, pada sisi lain, khususnya dalam sudut pandang tata cara dan prosedur, Saldi menegaskan terdapat rambu-rambu yang harus ditaati sehingga proses pembentukan undang-undang yang berlangsung sesuai dengan aturan main yang telah digariskan.

"Dengan mempertimbangkan fakta di atas dalam proses tahapan perencanaan UU 3/2025, disadari atau tidak, telah terdapat cacat prosedur dalam proses perubahan prolegnas dengan memuat Rancangan UU Perubahan UU TNI," ujar Saldi.

Dalam tahap pembahasan, Saldi menyatakan bahwa proses pembahasan revisi UU TNI dilakukan dalam waktu yang singkat. Sebab, lini masa proses pembahasan aturan tersebut yang dimulai dari pembicaraan tingkat I hingga pengesahan hanya berlangsung dalam kurun 10 hari.

"Rapat dan sidang yang diselenggarakan untuk membahas rancangan undang-undang tersebut memang dinyatakan terbuka untuk umum dan juga disiarkan dalam kanal resmi melalui media sosial," tutur Saldi.

"Namun tidak terdapat bukti yang meyakinkan mengenai keterbukaan untuk mengakses dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan UU 3/2025 dalam tahapan tersebut, antara lain seperti Naskah Akademik, draf Rancangan Undang-Undang, maupun DIM," sambungnya.

Dengan pertimbangan itu, Saldi pun berpendapat bahwa Mahkamah mestinya mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan bahwa proses pembentukan revisi UU TNI mengandung cacat (formil) prosedural dan secara bersyarat harus memperbaiki proses pembentukannya. Serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam proses perbaikannya.

"Untuk itu, dipersyaratkan dalam waktu diberikan waktu paling lama dua tahun bagi pembentuk undang-undang memperbaiki proses yang cacat formil dimaksud," kata Saldi.

"Dengan diberikan waktu untuk memperbaiki dimaksud, permohonan para Pemohon harus dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian," lanjutnya.

Enny Nurbaningsih

Hakim Enny menyatakan bahwa revisi UU TNI memang perlu dilakukan. Termasuk terkait dengan pengaturan usia pensiun bagi TNI, sebagaimana yang disampaikan dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021.

Akan tetapi, Enny menyinggung pentingnya asas keterbukaan dalam pembahasan revisi UU TNI tersebut. Ia menyebut, proses pembahasan tingkat I revisi UU TNI berlangsung sangat cepat dengan minimnya partisipasi publik.

Tak hanya itu, Enny juga mempersoalkan susahnya akses draf revisi UU TNI oleh publik yang mengakibatkan tidak adanya jaminan pemenuhan hak publik dalam berpartisipasi bermakna (meaningful participation).

"Ketidaktersediaan ruang yang memadai untuk melakukan partisipasi publik dalam masa Pembahasan Tingkat I dari tanggal 13 Maret-19 Maret 2025, serta tidak mudahnya draf RUU TNI untuk diakses menyebabkan tidak adanya jaminan pemenuhan hak masyarakat/publik sebagaimana maksud partisipasi yang bermakna," ucap Enny.

Dengan begitu, Enny pun menyebut bahwa UU TNI harus dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dilakukan perbaikan.

"Untuk mentaati seluruh prosedur/tata cara atau proses pembentukan UU TNI maka perlu dilakukan perbaikan prosedur dimaksud dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ujar Enny.

Asrul Sani

Dalam pandangannya, Hakim Arsul Sani juga menyinggung fakta bahwa revisi UU TNI tidak dibahas pada sisa periode DPR tahun 2019-2024 dan pembahasannya diserahkan kepada DPR periode selanjutnya atau periode 2024-2029.

Pada saat penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029, revisi UU TNI dimasukkan kembali sebagai salah satu RUU yang akan dibahas DPR periode 2024-2029.

Akan tetapi, kata dia, DPR dan pemerintah tidak memasukkan revisi UU TNI tersebut ke dalam Prolegnas Prioritas untuk tahun 2025. Namun, dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025, terjadi perubahan yakni adanya kesepakatan untuk menjadikan revisi UU TNI sebagai Prolegnas Prioritas tahun 2025.

Dalam persidangan di MK, DPR kemudian menyatakan bahwa pertimbangan untuk melakukan revisi UU TNI adalah menindaklanjuti putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021.

Menurut Arsul, mestinya DPR terlebih dahulu mengubah daftar Prolegnas Prioritas 2025 sebelum melakukan proses pembahasan revisi UU TNI tersebut.

Selain itu, dalam pandangannya, Arsul juga menyinggung kesulitan publik dalam mengakses draf, naskah akademik, serta informasi lainnya terkait revisi UU TNI.

Arsul pun menekankan bahwa DPR selaku pembentuk undang-undang mestinya melakukan pengelolaan laman yang memuat proses legislasi secara jelas dan disampaikan kepada publik secara terbuka.

Berdasarkan pandangan tersebut, Arsul menilai bahwa terdapat kekurangan pemenuhan prosedur legislasi dan hambatan atas akses masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses legislasi revisi UU TNI.

Akan tetapi, lanjut dia, dua hal tersebut tidak serta-merta memutuskan bahwa proses pembentukan UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan UU TNI yang dihasilkan menjadi tidak berlaku mengikat.

"Saya berpendapat bahwa oleh karena terdapat kekurangan pemenuhan prosedur dalam proses legislasi tersebut dan keterhambatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara bermakna, maka pembentuk undang-undang perlu melakukan perbaikan proses legislasi atas UU 3/2025 dalam jangka waktu yang reasonable, yakni dua tahun," ucap Arsul.

"Oleh karena itu, permohonan para Pemohon dapat dikabulkan hanya untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon," terang mantan Anggota DPR dari PPP itu.

Meski ada empat Hakim yang menyatakan beda pendapat, permohonan tersebut dinyatakan ditolak. Sebab, mayoritas Hakim menilai permohonan layak ditolak.

Kelima Hakim yang berpendapat seperti itu adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Guntur Hamzah, Daniel Yusmic, dan Ridwan Mansyur. ***

Baca Juga Brow
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan



Iklan



نموذج الاتصال