Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) Irfan Kamil (kedua kiri) didampingi kuasa hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa (kanan), usai melengkapi berkas permohonan uji materi Pasal 8 Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (19/8/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
Jakarta, Pena Medan -
Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi jurnalis dengan menafsirkan norma Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Permintaan itu sebagaimana dimohonkan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) yang mengajukan permohonan uji materi Pasal 8 UU Pers ke MK karena menganggap norma pasal dimaksud bertentangan dengan konstitusi.
“Kami minta agar dipertegas ‘perlindungan hukum’ itu adalah tindakan kepolisian, baik itu penggeledahan, penangkapan, ataupun penetapan tersangka hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers,” kata kuasa hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, ditemui di MK, Jakarta, Selasa (19/8) mengutip Antara.
Pasal 8 UU Pers berbunyi “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Iwakum menilai, pasal tersebut multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
Dijelaskan Viktor, tidak ada penjelasan konkret mengenai “perlindungan hukum” untuk jurnalis di UU Pers. Di bagian penjelasan, kata dia, perlindungan tersebut diartikan sebagai jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat.
"Itu apa maksudnya? Maksudnya perlindungan dari pemerintah dan masyarakat atau pemerintah dan masyarakat yang melindungi pers? Ini, kan, enggak jelas,” ucap dia.
Ketidakjelasan norma pasal tersebut dinilai menyebabkan wartawan menjadi tidak memiliki perlindungan hukum yang nyata. Wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya menjadi rentan untuk dikriminalisasi.
Dalam petitumnya, Iwakum meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 8 UU Pers menjadi “Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers” atau “Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers”.
Selain itu, Iwakum juga meminta Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 8 UU Pers bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Apabila permohonan dikabulkan, kata Viktor, polisi harus mendatangi Dewan Pers terlebih dahulu jika ada dugaan tindak pidana yang dilakukan wartawan. Dalam hal ini, polisi memberikan permohonan untuk melakukan pemeriksaan terhadap wartawan tersebut.
“Jadi nanti wartawan itu akan diperiksa terlebih dahulu oleh Dewan Pers. Dilihat deliknya. Kalau memang itu menjadi delik pidana murni di luar dari tugas wewenangnya maka itu bisa dilakukan tindakan kepolisian,” katanya.
“Tapi kalau menurut Dewan Pers ini dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas, sedang bertugas maka itu sebenarnya tidak bisa dilakukan delik pidana karena pada saat sedang menjalankan tugasnya sudah dilekatkan imunitas itu kepada wartawan,” imbuh Viktor.
Sementara itu, Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil mengatakan permohonan diajukan demi memastikan kemerdekaan pers tidak menjadi jargon semata, tetapi benar-benar diejawantahkan melalui perlindungan yang nyata bagi wartawan.
“Wartawan tidak boleh bekerja dalam tekanan, wartawan tidak boleh bekerja dalam bayang-bayang kriminalisasi, wartawan harus dilindungi oleh hukum,” kata Kamil dalam kesempatan yang sama.
Permohonan tersebut diajukan secara daring oleh Iwakum bertepatan dengan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI pada Minggu (17/8). Adapun pada Selasa ini, pemohon melengkapi berkas permohonannya di kepaniteraan MK.
(***)