Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik KPK kasus dugaan korupsi dana hibah pokmas dari APDB Jawa Timur 2019-2022.di Gedung Ditreskrimsus Polda Jatim, Kamis (10/7/2025). Foto: Farusma Okta Verdian/kumparan
Surabaya, Pena Medan -
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mendatangi Polda Jatim pada Kamis (10/7). Kedatangannya untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan dana hibah untuk pokmas di lingkungan Pemprov Jatim tahun anggaran 2021-2022.
Pantauan kumparan, depan gedung Ditreskrimsus Polda Jatim yang dikabarkan tempat pemeriksaan Khofifah terlihat ramai. Khofifah tidak terlihat saat memasuki gedung tersebut, namun orang-orang pihaknya menyebut Khofifah telah masuk melalui pintu sisi belakang Gedung Tribrata yang tidak diketahui oleh awak media sekitar pukul 09.50 WIB.
Sejumlah aktivis antikorupsi dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jatim juga mendatangi Polda Jatim. "MAKI Jawa Timur akan mendampingi Ibu Gubernur Jatim dalam permintaan keterangan dari KPK,” kata Ketua MAKI Jatim, Heru Prasetyo.
"Komunikasi yang terjadi pagi ini, tadi ibu siap untuk menghadiri, sangat fokus untuk menjawab apa yang beliau tahu, beliau dengar," ucapnya.
Alasan Pemeriksaan di Polda Jatim
KPK mengungkap alasan pemeriksaan Khofifah dilakukan di Polda Jatim, bukan di Gedung Merah Putih KPK yang berada di Jakarta.
"Pemeriksaan dilakukan di Jawa Timur atau di Surabaya. Itu karena bersamaan penyidik saat ini, bahkan sudah beberapa hari yang lalu sampai beberapa hari ke depan, mereka semua ada di Surabaya atau di Jawa Timur dan sekitarnya," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto kepada wartawan di Gedung DPR.
"Nah, ini berkaitan juga efisiensi, bersamaan ya. Mereka melakukan kegiatan di perkara yang lain gitu. Jadi dalam rangka efisiensi ya sekalian aja melakukan pemeriksaan di situ. Jadi enggak ada pertimbangan yang lain," sambungnya.
Namun pada hari yang sama KPK juga memeriksa mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, terkait kasus yang sama. Namun, pemeriksaan terhadap Kusnadi dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Terkait perbedaan lokasi itu KPK beralasan karena pertimbangan penyidik.
"Itu pastinya kan ada pertimbangan dari penyidik gitu ya, untuk menentukan mungkin dari satu sisi ada kepentingan-kepentingan tertentu dari penyidik, sehingga yang DPRD, di Jakarta, yang ini di Surabaya gitu," ucap Setyo.
"Semuanya karena pertimbangan yang sudah diperhitungkan secara efektif dan efisiensi," imbuhnya.
Tak Ada Perlakuan Istimewa
KPK memastikan pemeriksaan Khofifah di Polda Jatim bukan untuk memberikan keistimewaan.
"Pada prinsipnya tidak ada pengistimewaan dalam pemeriksaan terhadap saksi. Saat ini saksi sudah menjalani pemeriksaan oleh penyidik," kata juru bicara KPK Budi Prasetyo.
Budi menyebut, tim penyidik juga sebelumnya melakukan rangkaian pemeriksaan saksi lainnya dalam perkara ini di Jawa Timur.
"Dalam rangkaian penyidikan perkara ini, kita ketahui bersama, tim sebelumnya juga melakukan rangkaian kegiatan pemeriksaan saksi lainnya, penyitaan, dan sebagainya di wilayah Jawa Timur. Mari sama-sama kita tunggu prosesnya," ungkap Budi.
Dalami soal APBD untuk Dana Hibah
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan penyidik mendalami pengetahuan Khofifah terkait penggunaan APBD dalam dana hibah tersebut.
"Penyidik mendalami terkait dengan APBD yang digunakan untuk hibah tersebut," kata Budi kepada wartawan, Kamis (10/7).
Budi menjelaskan permintaan keterangan terhadap Khofifah berlangsung lancar.
"Gubernur Jawa Timur dilakukan pemeriksaan di Polda Jawa Timur, dan berlangsung lancar, dimintai beberapa keterangan oleh penyidik," ujar Budi.
Diperiksa 8,5 Jam
Pemeriksaan Khofifah berlangsung selama 8,5 jam. Ia keluar dari gedung Ditreskrimsus Polda Jatim sekitar pukul 18.27 WIB. Terlihat bersama Khofifah, Kepala Biro Administrasi Pimpinan (Biro Adpim) Sekretariat Daerah Pemprov Jatim, Pulung Chausar; Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Jatim, Lilik Pujiastuti; dan Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim, Adi Sarono.
Khofifah mengatakan dirinya hadir dalam pemeriksaan ini sebagai saksi atas beberapa tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah tersebut.
"Jadi, insyaallah telah memberikan penjelasan secara lengkap dan mudah-mudahan bisa menjadi bagian dari informasi yang dibutuhkan oleh KPK. Saya rasa itu," kata Khofifah kepada wartawan, Kamis (10/7) mengutip Kumparan.
Khofifah tidak merinci jumlah pertanyaan yang diajukan padanya. Salah satunya adalah pertanyaan KPK terkait struktur Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
"Enggak banyak. Cuma kalau struktur di OPD ya satu pertanyaan jawabnya banyak karena kepala-kepala dinas, kepala badan, kepala biro di tahun 2021-2024 kan banyak banget dan kemudian nama lengkap dari masing-masing OPD. kira-kira itu lah kawan-kawan," ucapnya.
Kepada para penyidik KPK, Khofifah mengaku telah menyampaikan detail terkait proses penyaluran dana hibah Pemprov Jatim tahun anggaran 2019-2022.
"Materi pertanyaan sebetulnya tentang proses penyaluran dana hibah. Saya ingin menyampaikan bahwa semua proses penyaluran dana hibah oleh pemprov sudah sesuai dengan prosedur," ujarnya.
Kasus Dana Hibah ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak. Sahat diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat. Dana hibah ini dinamai hibah pokok pikiran (pokir).
Terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat di Jatim.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Sahat yang merupakan politikus Golkar dan seorang pihak lain bernama Abdul Hamid diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Sahat sudah menjalani proses sidang dan divonis 9 tahun penjara. Pengembangan kasusnya saat ini tengah diusut.
Dalam pengembangan itu, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka, tapi identitasnya belum dibeberkan. Begitu juga konstruksi kasusnya.
Berdasarkan perannya, empat tersangka merupakan penerima suap. Tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara. Sementara, satu lainnya adalah staf dari penyelenggara negara.
Sementara, 17 tersangka sisanya berperan sebagai pemberi. Sebanyak 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.***