Pickers atau pengambil barang di sebuah E-Commerce do Warehouse, Marunda, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (10/12/2021). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pena Medan -
Pemerintah Indonesia tengah memfinalisasi aturan baru yang akan mewajibkan platform e-commerce atau marketplace untuk memotong pajak dari pendapatan para penjual. Kebijakan ini diambil untuk menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan perlakuan yang setara antara pelaku toko online.
“Prinsip utamanya adalah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli kepada wartawan, mengutip Kumparan, Kamis (26/6).
Menurut Rosmauli, saat ini ketentuan tersebut masih dalam tahap penyusunan akhir. Pemerintah akan menyampaikan isi aturan secara terbuka setelah resmi diterbitkan.
“Begitu aturannya resmi diterbitkan, kami akan sampaikan secara terbuka dan lengkap ya,” ujarnya.
Kebijakan ini ditargetkan dapat diumumkan paling cepat bulan depan. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijakan tersebut juga dirancang agar menciptakan kesetaraan perlakuan antara toko fisik dan penjual di platform digital.
Kebijakan ini diperkirakan akan berdampak langsung pada berbagai pemain besar e-commerce seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, dan Bukalapak. Meski begitu, ini bukan kali pertama pemerintah mencoba skema serupa. Pada 2018, sempat diterbitkan aturan tentang pemungutan pajak oleh marketplace, namun dicabut dalam waktu singkat akibat resistensi dari industri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah selama implementasinya dilakukan secara tepat dan adil.
“Apa pun kebijakan dari pemerintah, kami tentu akan patuh dan siap menjalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan bagian dari komitmen kami sebagai pelaku industri e-commerce dalam mendukung ekosistem yang sehat dan berkelanjutan,” kata Budi.
Namun hingga kini, menurut Budi, aturan resmi belum diterbitkan. Beberapa marketplace disebut telah menerima sosialisasi awal dari DJP, tetapi belum sampai pada tahap teknis.
“Kami memahami bahwa wacana ini sudah mulai disosialisasikan secara terbatas oleh DJP kepada beberapa marketplace sebagai bagian dari proses persiapan implementasi,” ujarnya.
Jutaan UMKM Digital Terdampak
Budi mengingatkan bahwa jika marketplace nanti resmi ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual individu, maka jutaan pelaku UMKM digital akan terdampak. Oleh karena itu, kesiapan sistem dan komunikasi antarpihak menjadi sangat krusial.
"Jika nantinya platform memang ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual orang pribadi dengan omzet tertentu, tentu implementasinya akan berdampak langsung pada jutaan seller, khususnya pelaku UMKM digital," jelas Budi.
idEA juga menyatakan komitmennya untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam menyusun kebijakan yang berimbang dan tidak mengekang pertumbuhan UMKM.
"Kami siap bekerja sama dengan DJP dalam mendukung kebijakan perpajakan yang adil dan transparan, serta mendorong kepatuhan nasional tanpa menghambat ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia," ujarnya.
Budi berharap agar implementasi aturan dilakukan secara bertahap, dengan pendekatan kolaboratif serta mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha dan infrastruktur pendukung.
"Kami percaya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional," tutupnya.***