Opini - Dalam beberapa pekan terakhir, petani garam di berbagai wilayah Indonesia mulai merasakan dampak signifikan dari kabar yang beredar mengenai rencana impor garam.
Tanpa adanya pengumuman resmi, sinyal kebijakan tersebut telah cukup untuk memicu kegelisahan di kalangan rakyat kecil.
Harga garam yang sebelumnya berada di kisaran Rp 900 hingga Rp 1.000 per kilogram kini merosot tajam menjadi Rp 650 hingga Rp 700 per kilogram di banyak sentra produksi.
Bagi para petani, penurunan harga ini bukan sekadar angka di pasar, melainkan sebuah ancaman yang menyentuh langsung keberlanjutan hidup mereka. Semangat mereka untuk menjaga warisan negeri ini seolah terancam oleh kabar yang datang dari luar.
P0Sementara laut, angin, dan matahari terus mereka manfaatkan secara alami, ancaman dari kebijakan impor membuat harapan mereka menguap lebih cepat daripada kabut pagi di tambak.
Di satu sisi, kita memahami bahwa kebutuhan industri dalam negeri terus berkembang. Ada kebutuhan khusus yang mungkin belum sepenuhnya bisa dipenuhi oleh produksi nasional. Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan sebuah
gerakan besar menuju swasembada garam, yang bukan hanya menjadi wacana pemerintah, tetapi juga semangat yang telah tertanam di hati para petani kita.
Selama ini, berbagai program telah dijalankan—mulai dari revitalisasi tambak, peningkatan kualitas, hingga dukungan akses pasar—yang menunjukkan arah kebijakan menuju kemandirian. Petani garam telah beradaptasi, belajar, dan berbenah.
Mereka bukan lagi sekadar penghasil garam, tetapi juga penjaga martabat kedaulatan pangan nasional.
Momen ini mengingatkan kita bahwa pembangunan bukan hanya soal efisiensi dan angka impor, tetapi juga tentang keberpihakan terhadap rakyat kecil. Swasembada bukanlah garis finish, melainkan sebuah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran, konsistensi, dan kepercayaan bersama.
Tidak ada niat untuk menyalahkan pihak manapun. Namun, alangkah indahnya jika setiap kebijakan bisa lahir dari ruang kesadaran kolektif: bahwa yang kita bangun hari ini adalah fondasi bagi generasi mendatang.
Di tengah tantangan global, bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiri di atas kekuatan rakyatnya sendiri.
Kini, lebih dari sekadar harga, yang dibutuhkan para petani adalah kepastian. Kepastian bahwa garam mereka akan dihargai, bahwa semangat mereka tidak akan dipadamkan oleh solusi jangka pendek.
Mari kita duduk bersama, menyatukan perspektif, dan menyalakan kembali lilin harapan menuju kemandirian sejati.
Sebab, swasembada bukan hanya soal garam. Swasembada adalah tentang harga diri sebuah bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam UU 7/2016 dan Perpres 17/2025 untuk memastikan terwujudnya pemberdayaan petani garam. Mari kita bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik, di mana setiap tetes garam yang dihasilkan adalah simbol dari kemandirian dan martabat bangsa.Aman